Sektor pariwisata di Bali bagian utara, memang masih kalah populer dibandingkan dengan Bali bagian selatan atau tengah, hal ini terlihat jelas dari tingkat keterisian kamar penginapan, lengangnya kawasan turis, restoran-restoran yang tidak lengkap menunya, toko oleh-oleh yang sangat langka, dan lampu merah yang cuma ada 1 biji di sepanjang jalan Lovina! Lampu merah itu lah yang jadi patokan untuk mencari hotel-hotel murah yang dekat dengan penyewaan kapal untuk dolphin watch, di dekat lampu merah itu lah lokasi kondangan yang ingin kami hadiri, dan di depan tiang lampu merah itu pula lah kami parkir mobil semena-mena karena gak ada tempat parkir lain. Gak apa-apa, ini kan Bali, gak ada yang kenal!! XP
Tapi sepertinya nggak lama-lama lagi lah Bali utara merana kesepian begitu, karena sebentar lagi, atau maksimal dalam waktu 20 tahun ini (sabar pangkal ubanan), Pemerintah Kabupaten Buleleng akan mengusahakan Bandara Letkol Wisnu menjadi bandara umum, atau membangun bandara umum baru di Kecamatan Gerokgak, maka mari kita doakan rencana tersebut lekas direalisasikan, jadi bagi yang udah khatam dengan Bali bagian selatan bisa langsung terbang ke Buleleng dan mulai mengeksplor Bali bagian utara sehingga terwujudlah pemerataan kesejahteraan dan Kuta gak jadi sumpek-sumpek amat.
Lovina sudah lama terkenal dengan wisata penampakan lumba-lumba (maap gak punya perbendaharaan kata lain selain penampakan). Kuatkanlah tekad wahai jiwa-jiwa kesiangan! karena kalau mau ketemu lumba-lumba, Anda harus bangun pagi-pagi sebelum bencong masuk kandang, karena tampaknya dolphin is a morning person, atau dia cuma suka SKJ di pagi hari sementara siangnya nonton infotainment. Jika Anda ingin tahu kapal seperti apa yang digunakan untuk bertemu lumba-lumba, bayangkanlah kapal yang paling ramping! Kapal yang cuma muat 4-5 orang, dan gak ada teman sebangku di sebelah Anda. Diberkatilah manusia yang menemukan teknologi cadik, sehingga gak perlu khawatir, kapal kecil ini tetap bisa seimbang dan berlayar dengan tangguh.
Bertemu dengan mamalia cerdas ini susah-susah gampang, hampir dapat dipastikan kalau berlayar pagi bisa bertemu dengan mereka, namun kadang-kadang mereka malu-malu juga, dan yang terlihat cuma sedikit. Saya kemarin hanya bertemu dengan sekawanan lumba-lumba yang terdiri atas 5 atau 6 ekor. Pasti ini lumba-lumba boyband, karena kalau lumba-lumba solo karir pasti sendirian, lumba-lumba duet selalu berduaan, lumba-lumba trio biasanya bertiga, dan lumba-lumba paduan suara nongolnya rame-rame (cieee yang jidatnya berkerut ngebaca garingan gw… :P).
Walaupun senang ketemu dengan si lumba-lumba, agak-agak nggak enak juga melalui prosesnya. Karena ternyata prosesnya rusuh juga, bayangin aja belasan kapal rame-rame ngebut menuju satu arah, lalu belok ke arah lain, puter balik, dan seterusnya demi memburu si hitam dari Laut Jawa. Kalau saya yang dikejar-kejar sedemikian rupa mungkin agak grogi dan manyun, tapi entah bagaimana dengan perasaan si lumba-lumba. Mudah-mudahan lumba-lumba tergolong hewan narsis dan haus popularitas, jadi dia senang dikejar-kejar begitu. Untuk petualangan tersebut, cukup bayar 60 ribu rupiah per orang, mungkin bisa kurang kalau langsung nawar ke tukang perahunya. Eh tapi kalau nawar jangan kelewatan ya, apa kabarnya kalo tukang perahunya cuma melayani jasa antar satu arah? Mau pulang naek punggung lumba-lumba?
Selain menikmati penampakan lumba-lumba, di sekitar Lovina, Anda bisa juga menikmati penampakan orang mandi….di pemandian air panas tentunya. di Bali memang banyak tempat pemandian mata air panas, kalau di Lovina sini, namanya Air Panas Banjar. Nggak ada yang terlalu istimewa sih, tapi lumayan lah kalau hotel kamu gak nyediain air panas bisa numpang mandi di sini. (Jadi keinget lagi kekecewaan kami kemaren yang gagal makan pop mi di hotel karena aer panas cuma ada di dapur, dan dapurnya tutup jam 6 sore! huh!! Sayang, kemaren gak kepikiran untuk balik ke Banjar untuk ngambil aer panas).
Tapi ada satu lagi yang agak sedikit beda di Singaraja dengan daerah Bali lainnya. Biasanya kita mengenal Bali sebagai daerah yang sangat khas dengan budaya dan tradisi Hindu-nya, padahal sebenarnya di Bali juga ada penganut agama Budha, bahkan di sini ada vihara yang lumayan besar, namanya Brahmavihara Arama. Hebatnya lagi, di dalam vihara itu juga ada stupa-stupa bersusun yang menyerupai Candi Borobudur, cuma gak nyampe 10 tingkat dan nggak sebesar Borobudur tentunya.
Kompleks vihara ini bertingkat-tingkat dan lumayan gede juga, sampai-sampai saya kaget ketika pada salah satu sudut saya ngeliat biksu yang sedang duduk tenang menatap saya. Saya senyumin, dia tampak membalas senyum tapi kok nggak gerak sama sekali. Lama saya liatin, apakah dia melihat ke saya juga? Saya dadah-dadahin…ya masa biksu dadah-dadah unyu juga? Antara bingung dan penasaran itu biksu apa patung, saya menyeret Irma untuk nemenin saya mendekati sang biksu. Saya hampir yakin itu patung, tapi Irma yakin itu biksu beneran. Lalu kami pun mendekat, dan kalau ternyata dia biksu beneran, rencana antisipasi kami cuma….bilang Assalamualaikum >_<:
Untungnya itu cuma patung biksu, tapi demi mengetahui itu cuma patung, Irma malah ngibrit karena takut. Cewek boleh berani jalan-jalan sendirian, berani patah hati, tapi sama patung tetep takut XD
Setelah tidak tahu lagi mau kemana dengan kaki yang sudah lemas, maka kami pun mengarah ke pusat Kota Singaraja untuk melihat kegiatan Agaja (Anak Gaul Singaraja) di sore hari. Ternyata Singaraja juga punya yang macam Jimbaran, restoran di tepi laut. Namanya Pantai Panimbangan. Tapi kelasnya jauh…jauuuuuuh banget di bawah Jimbaran, karena pantainya bukan berpasir, restorannya warung jagung bakar, dan meja makannya dari plastik, itu pun ditaronya di pinggir jalan :P. Tapi biar gimana pun, pantai ini kayanya favorit anak kampung sini, karena sangat rame dan lagi-lagi nyari parkir susah, sampe akhirnya parkir di pengkolan. Makan jagung bakar di Pantai Panimbangan sensasinya lain, jagung bakarnya bisa tiba-tiba berkuah, gara-gara warungnya pas di pinggir laut dan ombak lautnya suka pecah sembarangan dan nyiprat-nyiprat. Jadi, selamat menikmati jagung bakar kuah asin yaaa….. 🙂
coba lo bayar 30 ribu buat naik perahu, siapa tahu pulangnya cuma 15 ribu sama si lumba-lumba.. 😀
tapi lumba-lumba nggak nyediain life jacket -__-
makinlah gw iri, cubiiiiiiiiitttt , gw mau hol jalan2… lu cepetan napa lulusnya, huhuhu
hiks..hiks..hiks…gak tau nih kenapa dodol amat >_<;
hmm…kayaknya kalo mau fotoan di patung budha tidurnya kudu bayar 40B
kalo utk lumba-lumba gak perlu bayar mas Bay
oya trai, sesekali ceritakan kunjungan kita ke rmh nenek di werdapura dong….
wow…Sarmauli bisa reply di blog?!!? emejiinggg!!! eh apa Uli versi KW nih yg comment??
ini gw dodollll…temen lo….yg paling pinter sejagat alam raya berkumandang….
coba deh, karang cerita ttg rumah nenek….
Menurut lo gw pernah punya pengalaman menyenangkan atau berkesan gitu di “rumah nenek”?? Nginep di sana selalu berasa mimpi sepintas lalu
Pingback: Terbius Hiu Paus | Just A Trotter
Pingback: Lumba-Lumba Wakatobi | Just A Trotter