Home

Yang membuka catatan ini dengan harapan akan menemui jagoan gondrong berpedang, maaf Anda ketipu, karena saya bukan mau ngomongin Highlander yang film, tapi mau ngomongin Bukittinggi. Lalu apa hubungannya Highlander sama Bukittinggi? Tanya sama teman-teman gw yang asal Bukittinggi, karena mereka sendiri yang suka menyebut dirinya dengan Highlander. Sepertinya gw salah milih temen lagi o_O.

Sampai saat ini, gw cuma sekali ke Bukittinggi, itupun disempet-sempetin waktu dinas di Kota Padang dulu :D. Kebetulan jadwal dinasnya dempet sama libur 17 Agustus 2010. Jadi kalau umumnya orang-orang pada upacara hari kemerdekaan, gw malah mengunjungi rumah kelahiran sang proklamator itu sendiri di Bukittinggi, Bung Hatta. Bung Hatta merupakan tokoh bangsa favorit gw, mungkin karena ulang tahunnya samaan, tapi kemungkinan besar karena sejak gw kecil, emak gw sering cekokin gw tentang betapa hebat dan bersahajanya Bung Hatta itu.

Dari Kota Padang menuju Bukittinggi bisa melalui Padang Panjang. Mampirlah ke Pandai Sikek, perkampungan pengrajin songket Padang. Sayangnya dulu kita gak ketemu pengrajinnya, mungkin karena waktu itu masih pagi dan bulan puasa pula, jadinya masih pada bobo. Maka kita cuma masuk ke toko yang udah buka aja. Nggak menarik, skip ajah.

Anyway, sesampainya di Bukittinggi, kita langsung ke rumah Bung Hatta. Again-again, gak ada pemandu yang menemani berkeliling, jadinya cuma berasa kita lagi membobol rumah orang yang lagi mudik aja >_<. Bahkan gw gak bisa memberikan interpretasi ngawur kali ini, karena kunjungannya udah 2 tahun yang lalu, udah banyak yang lupa. Tapi dari memorabilia pidato Wakil Presiden Adam Malik waktu upacara pemakaman Bung Hatta (15 Maret 1980), terasa kalau kepergiannya merupakan kehilangan besar bagi bangsa Indonesia. hmm, baiklah lanjut ke tempat lain.

Pidato Adam Malik saat Upacara Pemakaman Bung Hatta

Dari rumah Bung Hatta, kami meluncur ke natural wonder-nya Bukittinggi, Ngarai Sianok. Banyak berbagai penjelasan soal pemberian nama ini. Seperti kita tau, Ngarai itu artinya lembah, sedangkan Sianok, ada yang bilang berasal dari gabungan kata ‘si’ dan ‘anok’, nah ‘anok’ itu artinya diam, jadi Ngarai Sianok artinya Lembah yang diam. Lembah di mana-mana juga kan diem aja yak? masa ada yang joget-joget? Penjelasannya, katanya karena walaupun lembah itu banyak dihuni sama monyet-monyet, tapi monyetnya gak berisik, diem aja (zikir terus kali ye), makanya dinamakan Ngarai Sianok. Sedangkan ada pendapat lain yang mengatakan karena ngarai itu letaknya di Desa Sianok. Ada atau nggak desa bernama Desa Sianok di situ, silakan cek sendiri. Kalau situ mau ngecek, jangan lupa cek juga, yang mana duluan ada, nama desanya atau nama ngarainya.

Ngarai Sianok – ada jutaan foto di internet yang sudut pengambilannya kaya gini juga, kenapa? karena cuma di situ lokasi yang memungkinkan berdiri dengan normal. Lain halnya kalau mau agak akrobat dikit.

Nggak jauh dari ngarai itu ada pintu masuk ke Lobang Jepang, goa yang sengaja dibangun sama tentara Jepang untuk menyimpan peralatan perang, berlindung, tempat pelarian, tempat menawan tahanan, menyidang dan membantai. Hati-hati masuk goanya, karena jauh ke dalam tanah (40 meter), panjang, berliku-liku, dan gelap, baek-baek nyasar. Penerangannya masih minim, tp kayanya mulai ada perbaikan deh sekarang. Saat ini sih goanya kosong aja, coba kalo diisi dengan diorama juga ya? Pasti lebih seru dan lebih edukatif. Kalau perlu ada yang akting jadi tentara Nippon dan muncul secara tiba2 dari belokan (mau jadi wisata sejarah apa rumah hantu?).

Pintu masuk Lobang Jepang

Di  beberapa pintu keluar goa yang nggak dibuka (setelah turun ada nanjak dong? selamat berjuang ye), kita langsung disuguhi pemandangan langsung ke tengah2 Ngarai Sihanok, isshh…tempat yang indah, sunyi, tentram, cocok untuk menciptakan lagu. Papa T. Bob, bukan gw (aih, kenapa jg Papa T. Bob yg disebut?)

Gini nih kalo nggak bisa nyiptain lagu

Anda pernah denger lagu yang nyebut-nyebut Fort de Kock? Nah itu adanya di Bukittinggi. Namanya aja Fort, jadi saya kira benteng yang segede Fort Marlborough di Bengkulu atau kaya Benteng Rotterdam di Makassar. Tapi ternyata lebih semacam menara pandang kaya Menara Bahari di Jakarta (eh tapi naek ke atas menara bahari mah masih gampang, kalo ini, tangganya keciiiil banget, dan kudu dipanjat). Walaupun demikian, alhamdulillah Bukittinggi udah pinter, kawasan di sekitar Fort de Kock itu dijadikan taman hiburan yang ada kebun binatang mini dan sarana rekreasi lainnya.

Back to the civilization, go to the market!!

Berhubung emak gw minta dibeliin kaset lagu padang, meluncurlah gw ke salah satu toko kaset di Pasar Atas. Gila lo, abad 21 gini, gw beli KASET di toko yang isinya lagu2 minang semua, dan melakukan tawar menawar! Serasa ada di tahun 1980-an 🙂

Kabarnya sate padang di Bukittinggi beda dengan sate padang pada umumnya, maka gw dan Citra yang alhamdulillah waktu itu lg gak puasa (sesat bgt nih) langsung mencari sate tersebut di tengah2 pasar. Rupanya sate bukittinggi itu dagingnya dilumuri parutan kelapa, jadi lebih crunchy.

Tapi sayangnya, icon kebanggaan Bukittinggi, Big Buyung, eh salah…Jam Gadang (kayanya kerenan kalo dipanggil Big Buyung yah??), lagi dikerangkeng untuk pemeliharaan. Sayangnya pula….ternyata jamnya gak segede bayangan gueh *_*

3 thoughts on “Being Highlander

  1. Wih, produktif abis trotter kita yang satu ini. Keren Kak, keep up the great work.
    Btw, kerjaan di subdit lu sam thesis pa kabar? *pertanyaan yang malesin* Hihihi
    Mana foto Fort deKock-nya? Kok kagak ada..

    • Soal kerjaan dan tesis, biar asisten gw yg ngrjain. pekerjaan dan kuliah gak boleh mengganggu kesenangan. Tau nih, gw jg bingung kok gak ada y foto fort dekocknya, adanya foto gw lg mejeng d pagernya :p

  2. Pingback: Minang Maimbau Bag.1: Hebohnya Orang Minang | Just A Trotter

Leave a comment